Begitu
Negara Islam di Madinah berdiri, kaum Muslim berada dalam kondisi perang dengan
kafir Quraisy Makkah. Hal ini tampak jelas pada peristiwa Baiat Aqabah II.
Abbas bin Nadhlah, salah seorang pelaku baiat, telah menyatakan prediksinya
tentang konflik yang akan terjadi, melibatkan kaum Muslim dengan bangsa Arab
dan non-Arab—jika baiat ini benar-benar terlaksana, Nabi saw. berhijrah ke
Madinah, dan mendirikan Negara Islam di sana. Dia berkata kepada orang-orang
Anshar, “Apakah kalian tahu, atas dasar apa kalian membaiat orang ini?”
Kaum Anshar menjawab,
“Ya!”
Abbas berkata lagi,
“Kalian akan membaiatnya untuk memerangi umat manusia, baik yang berkulit merah
maupun hitam!”[1]
Inilah yang telah
diprediksi oleh kaum Anshar berkaitan dengan kedudukan Jazirah Arab dan
kekuatan internasional di sekitarnya, termasuk terhadap pendirian Negara Islam
di Madinah.
Oleh karena itu,
Rasulullah saw. segera menyusun langkah-langkah strategis maupun taktis guna
menghadapi ancaman dan serangan yang berasal dari orang-orang kafir, termasuk
kafir Quraisy Makkah dan sekutu-sekutunya. Aktivitas Rasulullah saw. diarahkan
dalam rangka mengokohkan kedudukan negara ini serta merespon kaum Quraisy yang
mendeklarasikan perang terhadap Madinah. Aktivitas beliau telah diarahkan untuk
mengirim berbagai ekspedisi militer ke beberapa tempat di sebelah barat
Madinah, yang diarahkan untuk meraih tiga target:
(1)
Mengancam jalan perdagangan ke Syam
yang dilalui kaum Quraisy; sesuatu yang akan menjadi tekanan ekonomi bagi
masyarakat Makkah, yang memang amat bergantung pada usaha perniagaan.
(2)
Mengadakan perjanjian dengan
kabilah-kabilah yang tengah berperang di kawasan tersebut agar dalam konflik
antara Makkah dan Madinah mereka tidak memihak (bersikap netral). Ini dilakukan
jika dalam konflik tersebut dukungan kabilah-kabilah tersebut tidak mungkin
didapatkan. Sebab, kabilah-kabilah ini memang pada dasarnya condong kepada kaum
Quraisy dan selama berabad-abad telah bekerjasama dengan mereka. Di antara
mereka terdapat pakta yang disebut oleh al-Quran dengan istilah ilâf.[2]
Melalui pakta tersebut, kaum Quraisy memperoleh jaminan keamanan atas jalur
perniagaannya dengan kawasan Syam dan Yaman.
(3)
Memunculkan kekuatan Negara Islam yang
baru tumbuh di Madinah.
Aktivitas yang
mencerminkan upaya untuk meraih tiga target di atas telah dilakukan Rasulullah
saw. sendiri (yang disebut dengan ghazwah=peperangan yang diikuti oleh
Nabi saw), seperti: Perang Wadan, Perang Buwath, Perang al-‘Usyairah, dan Perang
Safwan. Selain itu, dalam periode ini juga dikirimkan beberapa ekspedisi
militer yang tidak disertai oleh Nabi saw. (sariyah), seperti: sariyah
Hamzah bin Abdul Muthalib, sariyah Ubaid bin Harits, sariyah Sa’ad
bin Abi Waqash, sariyah Abdullah bin Jahsy, dan sariyah Zaid bin
Haritsah ke Qardhah.
Menurut Ibnu Hisyam,
ekspedisi militer yang tidak diikuti Rasulullah saw. (sariyah) dan yang
pertama kali dilakukan kaum Muslim adalah sariyah Ubaidah bin al-Harits.1
Dalam peristiwa ini rayah (panji-panji/bendera) perang yang pertama
diserahkan Nabi saw. kepada komandan pasukan kaum Muslim.
Dikirimkannya pasukan
yang dipimpin Ubaidah bin al-Harits terjadi pada bulan Syawal, kurang lebih tujuh
bulan setelah Rasulullah saw. memasuki Madinah dalam perjalanan hijrahnya.
Beliau masuk kota Madinah pada bulan Rabiul Awal.2
Sedangkan ghazwah yang
dijalani oleh Rasulullah saw. yang pertama adalah Perang Wadan.[3]
Beliau keluar kota Madinah bersama beberapa orang prajurit dari kalangan
sahabatnya pada bulan Shafar tahun kedua setelah Hijrah. Rasulullah saw. keluar
dari Madinah hingga tiba di Wadan, kampung yang terletak di antara kota Makkah
dan Madinah. Dari Wadan ke Abwa berjarak sekitar enam mil. Perang Wadan
dinamakan juga dengan Perang al-Abwa.
Rasulullah saw.
berniat menyerang orang-orang Quraisy dari Bani Dhamrah bin Bakr bin Abdul Manaf
bin Kinanah. Namun, beliau berdamai dengan Bani Dhamrah di al-Abwa. Dalam
perjanjian tersebut Bani Dhamrah diwakili oleh salah seorang dari mereka, yaitu
Makhsyi bin Amr adh-Dhamri. Ia pemimpin Bani Dhamrah saat itu.
Setelah itu,
Rasulullah saw. pulang ke Madinah dan tidak memperoleh perlawanan. Rasulullah
saw. menetap di Madinah hingga akhir bulan Shafar dan awal bulan Rabiul Awal.
Langkah Rasulullah
saw. dengan mengikat perjanjian bersama Bani Dhamrah mencerminkan visi politik
dan militer yang sangat hebat. Langkah-langkah semacam ini di kemudian hari
selalu Rasulullah saw. lakukan dengan kabilah-kabilah Arab lainnya. Hal itu
untuk memperkuat aliansi Negara Islam Madinah dalam menghadapi koalisi kafir
Quraisy Makkah.
Sampai saat itu, kaum
Muslim dan Rasulullah saw. belum berperang secara terbuka dan besar-besaran.
Kedua belah pihak masih saling mengukur dan mengintai kekuatan masing-masing.
Keduanya juga masih memainkan instrumen politik luar negeri dengan memanfaatkan
posisi dan kekuatannya masing-masing. Perang besar yang pertama antara kaum
Muslim dan kaum kafir Quraisy terjadi pada perang Badar al-Kubra.
Fragmen-fragmen di atas mencerminkan kecerdasan
Rasulullah saw. dan kepiawaiannya mengelola politik luar negeri dan aspek
militer Negara Islam Madinah. Jika Rasulullah saw. tidak memiliki kepiawaian
tersebut, tentu saja Negara Islam Madinah sudah hancur pada saat beliau tiba di
Tidak ada komentar:
Posting Komentar