Rabu, 04 Desember 2013

HARMONIS DENGAN CANDA


 
"Mas, itu ada tukang bakso lewat!" ujar seorang istri pada suaminya. "Stttt... biarkan Dik, dia kan sedang usaha. Jangan diganggu!"
Mendengar ucapan suaminya tentu saja sang istri merasa gemas lalu mengejar sang suami yang ingin dicubitnya. Si suami tentu saja senang berhasil mencandai istrinya. Meski agak dongkol sang istri pun tertawa-tawa cukup lama.
Apakah anda senang bercanda dengan pasangan Anda, atau apakah pasangan anda senang menajak bercanda? Kalau jawabannya jarang atau bahkan tidak, berhati-hatilah. Beberapa tes untuk mengukur sejauh mana keharmonisan suatu hubungan pernikahan senantiasa menjadikan "ada tidaknya canda" sebagai salah satu parameter. Kurangnya canda dan gurauan di antara suami istri bisa menunjukkan kurang harmonisnya kehidupan rumah tangga.
Setiap orang tentu menginginkan hubungan pernikahannya harmonis hingga akhir hayat. Namun tak setiap pasangan dapat mempertahankan keharmonisan rumah tangganya, bahkan banyak yang berakhir dengan perceraian. Alasan perceraian "sudah tidak ada kecocokan" sebenarnya berarti sudah hilangnya keharmonisan dalam rumah tangganya.
Banyak faktor yang mempengaruhi hilangnya keharmonisan diantara keduanya. Diantara faktor yang paling penting yaitu komunikasi. Jika komunikasi mengalami hambatan bisa mempengaruhi hubungan suami istri.
Suami istri perlu membiasakan suasana komunikasi yang akrab dalam keseharian bahkan dalam menentukan berbagai keputusan penting dalam rumah tangga. Suami dan istri harus saling menghargai pendapat masing-masing. Tak sepantasnya suami mendoktrin istri, atau bahkan meremehkan pendapatnya. Demikian juga sang istri sebaiknya tidak mendominasi pembicaraan. Suasana dialogis perlu dikembangkan untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.
Rasulullah adalah teladan baik sebagai seorang suami dalam menjalin komunikasi dengan keluarganya. Beliau tak segan mendengarkan pembicaraan istri tanpa memotong, menyela bahkan menghentikannya. Sebagai contoh, suatu malam Aisyah menuturkan kisah yang amat panjang tentang sebelas orang wanita di zaman jahiliyah yang menceritakan suami-suami mereka.
Diceritakannya satu persatu cerita dari para wanita itu dari mulai satu hingga ke sebelas. Selama Aisyah bercerita Rasululah menyimaknya dengan baik. Aisyah merasa bebas bercerita kepada Rasul Allah SAW tanpa khawatir dipotong dan diacuhkan oleh beliau. Bahkan Rasulullah terlihat betah mendengar cerita Aisyah yang panjang lebar itu. Setelah selesai barulah beliau memberi komentar secukupnya. Dari kisah itu kita bisa melihat suasana komunikasi dalam keluarga yang baik dan lancar.
Rasulullah adalah juga sosok suami yang sangat memperhatikan kebutuhan batiniah istrinya. Rasulullah senantiasa mengupayakan suasana yang menyenangkan dan selalu ingin menghibur perasaan istrinya. Aisyah yang terpaut usia sangat jauh tidak dipaksa melulu untukmengikuti pola dan irama hidup Rasulullah sebagai pemimpin umat. Ada saat-saat di mana Rasulullah mengkondisikan suatu suasana dan situasi demi menyenangkan perasaan Aisyah. Nabi mengundang beberapa anak gadis Anshar untuk bermain-main dengan Aisyah. Dibiarkannya Aisyah bemain memuaskan hatinya. Hubungan harmonis Rasulullah dengan Aisyah pun terlihat dari sikap masing-masing terhadap pasangannya.
Aisyah pernah menyaksikan orang-orang Habsyah yang sedang bermain pedang di mesjid sebagai bentuk latihan menghadapi peperangan. Sambil menonton Aisyah bersandar di pundak beliau. Selama itu beliau tidak beranjak sampai Aisyah sendiri yang menginginkan pergi. Demikian juga Rasulullah kerap menyandarkan kepala di pangkuan Aisyah sambil membaca Al Quran.
Rasulullah bahkan pernah berlomba lari dengan Aisyah. "Rasulullah berlomba denganku hingga aku dapat mendahuluinya, sampai ketika saya menjadi gemuk beliau berlomba dengan aku dan beliau mendahului aku. Lalu beliau tertawa dan berkata, "Kali ini untuk menebus yang dulu" (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Untuk menciptakan suasana harmonis Rasulullah gemar bercanda dengan istrinya. Meskipun beliau banyak mengalami kesedihan, beliau suka bergurau. Beliau menyertai istrinya dalam tertawa. Pada suatu kali, saat membuat roti, dua orang istri Nabi yaitu Aisyah dan Saudah bercanda saling melumurkan adonan tepung ke wajah, dan Rasul turut serta bergembira bersamanya (HR. Bukhari).
Rasulullah pun menganjurkan bergurau pada sahabatnya. Rasulullah pernah berkata kepada Hanzhalah ketika. Hanzhalah merasa sedih melihat perubahan sikapnya (keadaannya) sendiri yang berbeda ketika berada di rumah dan ketika bersama Rasulullah saw, sehingga ia menganggap dirinya munafik.
Maka Rasulullah bersabda, "Wahai Hanzhalah kalau kamu terus menerus dalam keadaan seperti ketika kamu bersamaku, niscaya kamu akan disalami oleh malaikat di jalan-jalanmu. Akan tetapi, wahai Hanzhalah, berguraulah sekedarnya."
Canda dan gurauan memang diperlukan dalam menjalin komunikasi yang akrab khususnya antara suami dan istri. Suasana tegang dan hubungan yang kaku dan hambar dapat dicairkan dengan gurau dan canda.
Menurut beberapa penelitian humor atau canda dapat menghindari stress dan timbulnya serangan jantung. Senyum dan tawa akan mengedurkan tegangnya urat syaraf. Persoalan rumah tangga yang kadang pelik dan rumit harus dihadapi dengan rileks. Pernikahan bukan sekadar kontrak sosial dimana suami istri terikat dengan peraturan dan hubungan kaku. Sebaiknya dibangun suatu relasi dan situasi yang yang nyaman dan menyenangkan di mana setiap pasangan dapat menikmati hari-harinya.
Dalam saling menasihati antara suami istri, canda dan humor juga sangat dibutuhkan. Menurut Abdullah Nashih Ulwan nasihat yang disertai humor dapat menggerakkan rasio, menghilangkan jemu dan menimbulkan daya tarik. Nasihat yang menggurui dan kritik yang tajam akan sangat berlainan dampaknya dibanding dengan nasihat dan kritik yang disampaikan dengan canda. Canda akan mengurangi resiko munculnya perasaan tersinggung. Canda memang dapat menciptakan suasana komunikasi yang kondusif dalam rumah tangga sehingga ikatan pernikahan senantiasa harmonis. Namun perlu diingat bahwa canda harus betul-betul diniatkan untuk menyenangkan perasaan pasangan, bukan untuk menyinggung perasaannya. Insisiatif meyenangkan hati pasangan ini jangan hanya muncul dari salah satu fihak, melainkan harus dari keduanya.
Istri maupun suami pun harus menghargai upaya pasangannya dalam menyenangkan hatinya sehingga ia akan merasa terpacu dan terpanggil untuk selalu menyenangkan hati pasangannya.
"Sesungguhnya hati itu bisa bosan sebagaimana badan pun bisa bosan (letih), karena itu carikanlah untuknya hiburan yang mengandung hikmah." (Ali karamallahhu wajhah).
Wallahu a'lam.
------------
sumber : Ida S Widayanti / Hidayatullah

Rabu, 27 November 2013

Hamzah bin Abdul muthalib




Thabarani telah mengeluarkan dari Al-Harits At-Taimi dia berkata: Adalah Hamzah bin Abdul Mutthalib r.a. pada hari pertempuran di Badar membuat tanda dengan bulu burung Na'amah (Bangau). Sesudah selesai peperangan, maka seorang dari kaum Musyrikin bertanya: Siapa orang yang bertanda dengan bulu burung Na'amah itu? Maka orang berkata: Dialah Hamzah bin Abdul Mutthalib. Sahut orang itu lagi: Dialah orang yang banyak mepermalukan kita di dalam peperangan itu. (Majma'uz Zawa'id 6:81)
Bazzar mengeluarkan dari Abdul Rahman bin Auf ra. dia berkata: Bertanya Umaiyah bin Khalaf kepadanya: Hai Abdullah! Siapa orang yang memakai bulu burung Na'amah di dadanya pada perang Badar itu? jawabku: Dia itu paman Muhammad, dialah Hamzah bin Abdul Mutthalib ra. Berkata lagi Umaiyah bin Khalaf: Dialah orang yang banyak mempermalukan kita dengan senjatanya sehingga dia dapat membunuh banyak orang di antara kita. (Majma'uz Zawa'id 6:81)
Hakim telah mengeluarkan dari Sabir bin Abdullah ra. dia berkata: Rasulullah SAW mencari-cari Hamzah pada hari Ubud setelah selesai peperangan, dan setelah semua orang berkumpul di sisinya: Di mana Hamzah? Maka salah seorang di situ menjawab: Tadi, saya lihat dia berperang di bawah pohon di sana, dia terus menerus mengatakan: Aku singa Allah, dan singa RasulNya! Ya Allah, ya Tuhanku! Aku mencuci tanganku dari apa yang dibawa oleh mereka itu, yakni Abu Sufyan bin Harb dan tentera Quraisy. Dan aku memohon uzur kepadamu dari apa yang dibuat oleh mereka itu dan kekalahan mereka, yakni tentera Islam yang melarikan diri! Lalu Rasulullah SAW pun menuju ke tempat itu, dan didapati Hamzah telah gugur. Sewaktu Beliau melihat dahinya, Beliau menangis, dan melihat mayatnya dicincang-cincang, Beliau menarik nafas panjang. Kemudian Beliau berkata: Tidak ada kain kafan buatnya?! Maka segeralah seorang dari kaum Anshar membawakan kain kafan untuknya. Berkata Jabir seterusnya, bahwa Rasulullah SAW telah berkata: Hamzah adalah penghulu semua orang syahid nanti di sisi Allah pada hari kiamat. (Hakim 3:199)
Ibnu Ishak telah mengeluarkan dari Ja'far bin Amru bin Umaiyah Adh-Dhamri, dia berkata: Aku keluar bersama Abdullah bin Adiy bin Al-Khiyar pada zaman Mu'awiyah ra... dan disebutkan ceritanya hingga kami duduk bersama Wahsyi (pembunuh Hamzah ra.), maka kami berkata kepadanya: Kami datang ini untuk mendengar sendiri darimu, bagaimana engkau membunuh Hamzah ra. Wahsyi bercerita: Aku akan memberitahu kamu berdua, sebagaimana aku telah memberitahu dahulu kepada Rasulullah SAW ketika Beliau bertanya ceritanya dariku.
Pada mulanya, aku ini adalah hamba kepada Jubair bin Muth'im, dan pamannya yang bernama Thu'aimah bin Adiy telah mati terbunuh di perang Badar. Pada saat kaum Quraisy keluar untuk berperang di Uhud, Jubair berkata kepadaku: Jika engkau dapat membunuh Hamzah, paman Muhammad untuk menuntut balas kematian pamanku di Badar, engkau akan aku merdekakan. Begitu tentara Quraisy keluar ke medan Uhud, aku turut keluar bersama mereka. Aku seorang Habsyi yang memang mahir untuk melempar pisau , dan sebagaimana biasanya orang Habsyi, jarang-jarang tidak mengenai sasaran apabila melempar. Apabila kedua belah pihak bertempur di medan Uhud itu, aku keluar mencari-cari Hamzah untuk kujadikan sasaranku, hingga aku melihatnya di antara orang yang bertarung, seolah-olahnya dia unta yang mengamuk, terus memukul dengan pedangnya segala apa yang datang menyerangnya, tiada seorang pun yang dapat melawannya. Aku pun bersiap untuk menjadikannya sasaranku. Aku lalu bersembunyi di balik batu berdekatan dengan pohon yang dia sedang bertarung, sehingga sewaktu dia datang berdekatan denganku, mudahlahlah aku melemparkan pisau racunku itu.
Tatkala dia dalam keadaan begitu, tiba-tiba datang menyerangnya Sibak bin Abdul Uzza. Hamzah melihat Sibak datang kepadanya, lalu dia berteriak: Ayo ke sini, siapa yang mau mencari mati! Disabetnya dengan sekali ayunan kepalanya berguling di tanah. Maka pada ketika itulah, aku terus mengacung-acungkan pisau bengkokku itu, dan saat aku rasa sudah tepat sasaranku, aku pun melemparkannya ke Hamzah mengenai bawah perutnya terus rnenembu bawah selangkangnya. Dia mencoba menerkamku, tetapi dia sudah tidak berdaya lagi, aku lalu meninggalkannya di situ hingga dia mati. Kemudian aku kembali lagi untuk mengambil pisau bengkokku itu, dan aku membawanya ke perkemahan kami. Aku duduk di situ menunggu, dan aku tidak punya tujuan yang lain, kecuali membunuh Hamzah agar aku dapat dimerdekakan oleh tuanku.
Kami kembali ke Makkah, seperti yang dijanjikan oleh tuanku, aku dimerdekakan. Aku terus tinggal di Makkah. Dan apabila kota Makkah ditaklukkan oleh Rasulullah SAW aku pun melarikan diri ke Tha'if dan menetap di sana. Ketika rombongan orang-orang Tha'if bersiap-siap hendak menemui Rasulullah SAW untuk memeluk Islam, aku merasa serba salah tidak tahu ke mana harus melarikan diri. Aku berfikir, apakah aku harus melarikan diri ke Syam, atau ke Yaman, ataupun ke negeri-negeri lainnya, sampai kapan aku akan menjadi orang buruan?! Demi Allah, aku merasakan diriku susah sekali. Tiba-tiba ada orang yang datang kepadaku memberi nasehat: Apa yang engkau takutkan? Muhammad tidak membunuh orang yang masuk ke dalam agamanya, dan menyaksikan syahadat kebenaran! Aku tidak punya jalan lain kecuali menerima nasehat itu. Aku pun menuju ke Madinah untuk menemui Rasulullah SAW. Tanpa diduga tiba-tiba Beliau melihatku berdiri di hadapannya menyaksikan syahadat kebenaran itu. Beliau lalu menoleh kepadaku seraya berkata: Apakah engkau ini Wahsyi? Jawabku: Saya, wahai Rasulullah! Beliau berkata lagi: Duduklah! Ceritakanlah bagaimana engkau rnembunuh Hamzah?! Aku lalu menceritakan kepadanya seperti aku menceritakan sekarang kepada kamu berdua.
Setelah selesai bercerita, Beliau berkata kepadaku: Awas! Jangan lagi engkau datang menunjukkan wajahmu kepadaku! Karena itu aku terus-menerus menjauhkan diri dari Rasulullah SAW supaya Beliau tidak melihat wajahku lagi, sehinggalah Beliau wafat meninggalkan dunia ini. Kemudian saat kaum Muslimin keluar untuk berperang dengan Musailimah Al-Kazzab, pemimpin kaum murtad di Yamamah, aku turut keluar untuk berperang melawannya. Aku bawa pisau bengkok yang membunuh Hamzah itu. Ketika orang-orang sedang bertempur, aku mencuri-curi masuk dan aku lihat Musailimah sedang berdiri dan di tangannya pedang yang terhunus, maka aku pun membuat persiapan untuk melemparnya dan di sebelahku ada seorang dari kaum Anshar yang sama tujuan denganku. Aku terus mengacung-acungkan pisau itu ke arahnya, dan setelah aku rasa bidikanku sudah cukup tepat, aku pun melemparkannya, dan mengenainya, lalu orang Anshar itu menghabisi hidupnya dengan pedangnya. Aku sendiri tidak memastikan siapa yang membunuh Musailimah itu, apakah pisau bengkokku itu, ataupun pedang orang Anshar tadi, hanya Tuhan sajalah yang lebih mengetahui. Jika aku yang membunuhnya, maka dengan demikian aku telah membunuh orang yang terbaik pada masa hidup Rasulullah SAW dan aku juga membunuh orang yang paling jahat sesudah masa Beliau. (Al-Bidayah Wan-Nihayah 4:18)
Bukhari telah mengeluarkan dari Ja'far bin Amru sebagaimana cerita yang sebelumnya, ketika orang ramai berbaris untuk berperang, keluarlah Sibak bin Abdul Uzza sambil berteriak: Siapa yang akan melawanku? Hamzah pun datang untuk melawannya, lalu Hamzah berkata kepadanya: Hai Sibak! Hai putera Ummi Anmar, tukang sunnat orang perempuan! Apakah engkau hendak melawan Allah dan RasulNya? Hamzah lalu menghantamnya dengan suatu pukulan yang keras menghabisinya

Selasa, 26 November 2013

Fatimah Az-Zahra




Pada suatu hari di Madinah, ketika Nabi Muhammad berada di masjid sedang dikelilingi para sahabat, tiba-tiba anaknya tercinta Fatima, yang telah menikah dengan Ali --prajurit umat Islam yang terkenal-- datang pada Nabi. Dia meminta dengan sangat kepada ayah nya untuk dapat meminjam seorang pelayan yang dapat membantunya dalam melaksanakan tugas pekerjaan rumah. Dengan tubuhnya yang ceking dan kesehatannya yang buruk, dia tidak dapat melaksanakan tugas menggiling jagung dan mengambil air dari sumur yang jauh letaknya, di samping juga harus merawat anak-anaknya.
Nabi tampak terharu mendengar permohonan si anak, tapi sementara itu juga Beliau menjadi agak gugup. Tetapi dengan menekan perasaan, Beliau berkata kepada sang anak dengan sinis, "Anakku tersayang, aku tak dapat meluangkan seorang pun di antara mereka ya ng terlibat dalam pengabdian 'Ashab-e Suffa. Sudah semestinya kau dapat menanggung segala hal yang berat di dunia ini, agar kau mendapat pahalanya di akhirat nanti." Anak itu mengundurkan diri dengan rasa yang amat puas karena jawaban Nabi, dan selanjutnya tidak pernah lagi mencari pelay an selama hidupnya.
Fatima Az-Zahra si cantik dilahirkan delapan tahun sebelum Hijrah di Mekkah dari Khadijah, istri Nabi yang pertama. Fatima ialah anak yang keempat, sedang yang lainnya: Zainab, Ruqaya, dan Ummi Kalsum.
Fatima dibesarkan di bawah asuhan ayahnya, guru dan dermawan yang terbesar bagi umat manusia. Tidak seperti anak-anak lainnya, Fatima mempunyai pembawaan yang tenang dan perangai yang agak melankolis. Badannya yang lemah, dan kesahatannya yang buruk men yebabkan ia terpisah dari kumpulan dan permainan anak-anak. Ajaran, bimbingan, dan aspirasi ayahnya yag agung itu membawanya menjadi wanita berbudi tinggi, ramah-tamah, simpatik, dan tahu mana yang benar.
Fatima, yang sangat mirip dengan ayahnya, baik roman muka maupun dalam hal kebiasaan yang saleh, adalah seorang anak perempuan yang paling diayang ayahnya dan sangat berbakti terhadap Nabi setelah ibunya meninggal dunia. Dengan demikian, dialan yang sang at besar jasanya mengisi kekosongan yang ditinggalkan ibunya.
Pada beberapa kesempatan Nabi Muhammad SAW menunjukkan rasa sayang yang amat besar kepada Fatima. Suatu saat Beliau berkata, "O... Fatima, Allah tidak suka orang yang membuat kau tidak senang, dan Allah akan senang orang yang kau senangi."
Juga Nabi dikabarkan telah berucap: "Fatima itu anak saya, siapa yang membuatnya sedih, berarti membuat aku juga menjadi sedih, dan siapa yang menyenangkannya, berarti menyenangkan aku juga."
Aisyah, istri Nabi tercinta pernah berkata, "Saya tidak pernah berjumpa dengan sosok probadi yang lebih besar daripada Fatima, kecuali kepribadian ayahnya."
Atas suatu pertanyaan, Aisyah menjawab, "Fatima-lah yang paling disayang oleh Nabi."
Abu Bakar dan Umar keduanya berusaha agar dapat menikah denga Fatima, tapi Nabi diam saja. Ali yang telah dibesarkan oleh Nabi sendiri, seorang laki-laki yang padanya tergabung berbagai kebajikan yang langka, bersifat kesatria dan penuh keberanian, kesal ehan, dan kecerdasan, merasa ragu-ragu mencari jalan untuk dapat meminang Fatima. Karena dirinya begitu miskin. Tetapi akhirnya ia memberanikan diri meminang Fatima, dan langsung diterima oleh Nabi. Ali menjual kwiras (pelindung dada dari kulit) milikn ya yang bagus. Kwiras ini dimenangkannya pada waktu Perang Badar. Ia menerima 400 dirham sebagai hasil penjualan, dan dengan uang itu ia mempersiapkan upacara pernikahannya. Upacara yang amat sederhana. Agaknya, maksud utama yang mendasari perayaan it u dengan kesederhanaa, ialah untuk mencontohkan kepada para Musllim dan Musllimah perlunya merayakan pernikahan tapa jor-joran dan serba pamer.
fatima hampir berumur delapan belas tahun ketika menikah dengan Ali. Sebagai mahar dari ayahnya yang terkenal itu, ia memperoleh sebuah tempat air dari kulit, sebuah kendi dari tanah, sehelai tikar, dan sebuah batu gilingan jagung.
Kepada putrinya Nabi berkata, "Anakku, aku telah menikahkanmu dengan laki laki yang kepercayaannya lebih kuat dan lebih tinggi daripada yang lainnya, dan seorang yang menonjol dalam hal moral dan kebijaksanaan."
Kehidupan perkawinan Fatima berjalan lanjcar dalam bentuknya yang sangat sederhana, gigih, dan tidak mengenal lelah. Ali bekerja keras tiap hari untuk mendapatkan nafkah, sedangkan istrinya bersikap rajin, hemat, dan berbakti. Fatima di rumah melaksanak an tugas-tugas rumah tangga; seperti menggiling jagung dan mengambil air dari sumur. Pasangan suami-istri ini terkenal saleh dan dermawan. Mereka tidak pernah membiarkan pengemis melangkah pintunya tanpa memberikan apa saja yang mereka punyai, meskipun m ereka sendiri masih lapar.
Sifat penuh perikemanusiaan dan murah hati yang terlekat pada keluarga Nabi tidak banyak tandingannya. Di dalam catatan sejarah manusia, Fatima Zahra terkenal karena kemurahan hatinya.
Pada suatu waktu, seorang dari suku bani Salim yang terkenal kampiun dalam praktek sihir datang kepada Nabi, melontarkan kata-kata makian. Tetapi Nabi menjawab dengan lemah-lembut. Ahli sihir itu begitu heran menghadapi sikap luar biasa ini, hingga ia m emeluk agama Islam. Nabi lalu bertanya: "Apakah Anda berbekal makanan?" Jawab orang itu: "Tidak." Maka, Nabi menanyai Muslimin yang hadir di situ: "Adakah orang yang mau menghadiahkan seekor unta tamu kita ini?" Mu'ad ibn Ibada menghadiahkan seekor unta. Nabi sangat berkenan hati dan melanjutkan: "Barangkali ada orang yang bisa memberikan selembar kain u ntuk penutup kepala saudara seagama Islam?" Kepala orang itu tidak memaki tutup sama sekali. Sayyidina Ali langsung melepas serbannya dan menaruh di a tas kepala orang itu. Kemudian Nabi minta kepada Salman untuk membawa orang itu ke tempat seseorang saudara seagama Islam yang dapat memberinya makan, karena dia lapar.
Salman membawa orang yang baru masuk Islam itu mengunjungi beberapa rumah, tetapi tidak seorang pun yang dapat memberinya makan, kearna waktu itu bukan waktu orang makan.
Akhirnya Salman pergi ke rumah Fatima, dan setelah mengetuk pintu, Salman memberi tahu maksud kunjungannya. Dengan air mata berlinang, putri Nabi ini mengatakan bahwa di rumahnya tidak ada makanan sejak sudah tiga hari yang lalu. Namun putri Nabi itu en ggan menolak seorang tamu, dan tuturnya: "Saya tidak dapat menolak seorang tamu yang lapar tanpa memberinya makan sampai kenyang."
Fatima lalu melepas kain kerudungnya, lalu memberikannya kepada Slaman, dengan permintaan agar Salman membawanya barang itu ke Shamoon, seorang Yahudi, untuk ditukar dengan jagung. Salman dan orang yang baru saja memeluk agama Islam itu sangat terharu. Dan orang Yahudi itu pun sangat terkesan atas kemurahan hati putri Nabi, dan ia juga memeluk agama Islam dengan menyatakan bahwa Taurat telah memberitahukan kepada golongannya tentang berita akan lahirnya sebuah keluarga yang amat berbudi luhur.
Salman balik ke rumah Fatima dengan membawa jagung. Dan dengan tangannya sendiri, Fatima menggiling jagung itu, dan membakarnya menjadi roti. Salman menyarankan agar Fatima menyisihkan beberapa buath roti intuk anak-anaknya yang kelaparan, tapi dijawab bahwa dirinya tidak berhak untuk berbuat demikian, karena ia telah memberikan kain kerudungnya uitu untuk kepentinga Allah.
Fatima dianugerahi lima orang anak, tiga putra: Hasan, Husein, dan Muhsin, dan dua putri: Zainab dan Umi Kalsum. Hasan lahir pada tahun kegia dan Husein pada tahun keempat Hijrah. Muhsin meninggal dunia waktu masih kecil.
Fatima merawat luka Nabi sepulangnya dari Perang Uhud. Fatima juga ikut bersama Nabi ketika merebut Mekkah, begitu juga ia ikut ketika Nabi melaksanakan ibadah Haji Waqad, apda akhir tahun 11 Hijrah.
Dalam perjalanan haji terakhir ini Nabi jatuh sakit. Fatima tetap mendampingi beliau di sisi tempat tidur. Ketika itu Nabi membisikkan sesuatu ke kuping Fatima yang membuat Fatima menangis, dan kemudian Nabi membisikkan sesuatu lagi yang membuat Fatima tersenyum. Setelah nabi wafat, Fatima menceritakan kejadian itu kepada Aisyah. Ayahnya membisikkan bertia kematianya, itulah yang menyebabkan Fatima menangis, tapi waktu Nabi mengatakan bahwa Fatima-lah orang pertama yang akan berkumpul dengannya di ala m baka, maka fatima menjadi bahagia.
Tidak lama setelah Nabi wafat, Fatima meninggal dunia, dalam tahun itu juga, eman bulan setelah nabi wafat. Waktu itu Fatima berumur 28 tahun dan dimakamkan oleh Ali di Jaat ul Baqih (Medina), diantar dengan dukacita masyarakat luas.
Fatima telah menjadi simbol segala yang suci dalam diri wanita, dan pada konsepsi manusa yang paling mulia. Nabi sendiri menyatakan bahwa Fatima akan menjadi "Ratu segenap wanita yang berada di Surga."

Sumber: "Seratus Muslim Terkemuka" oleh Jamil Ahmad.

Selasa, 19 November 2013

Ekspedisi Militer Pertama Dalam Islam





Begitu Negara Islam di Madinah berdiri, kaum Muslim berada dalam kondisi perang dengan kafir Quraisy Makkah. Hal ini tampak jelas pada peristiwa Baiat Aqabah II. Abbas bin Nadhlah, salah seorang pelaku baiat, telah menyatakan prediksinya tentang konflik yang akan terjadi, melibatkan kaum Muslim dengan bangsa Arab dan non-Arab—jika baiat ini benar-benar terlaksana, Nabi saw. berhijrah ke Madinah, dan mendirikan Negara Islam di sana. Dia berkata kepada orang-orang Anshar, “Apakah kalian tahu, atas dasar apa kalian membaiat orang ini?”
Kaum Anshar menjawab, “Ya!”
Abbas berkata lagi, “Kalian akan membaiatnya untuk memerangi umat manusia, baik yang berkulit merah maupun hitam!”[1]
Inilah yang telah diprediksi oleh kaum Anshar berkaitan dengan kedudukan Jazirah Arab dan kekuatan internasional di sekitarnya, termasuk terhadap pendirian Negara Islam di Madinah.
Oleh karena itu, Rasulullah saw. segera menyusun langkah-langkah strategis maupun taktis guna menghadapi ancaman dan serangan yang berasal dari orang-orang kafir, termasuk kafir Quraisy Makkah dan sekutu-sekutunya. Aktivitas Rasulullah saw. diarahkan dalam rangka mengokohkan kedudukan negara ini serta merespon kaum Quraisy yang mendeklarasikan perang terhadap Madinah. Aktivitas beliau telah diarahkan untuk mengirim berbagai ekspedisi militer ke beberapa tempat di sebelah barat Madinah, yang diarahkan untuk meraih tiga target: 
(1)  Mengancam jalan perdagangan ke Syam yang dilalui kaum Quraisy; sesuatu yang akan menjadi tekanan ekonomi bagi masyarakat Makkah, yang memang amat bergantung pada usaha perniagaan.
(2)  Mengadakan perjanjian dengan kabilah-kabilah yang tengah berperang di kawasan tersebut agar dalam konflik antara Makkah dan Madinah mereka tidak memihak (bersikap netral). Ini dilakukan jika dalam konflik tersebut dukungan kabilah-kabilah tersebut tidak mungkin didapatkan. Sebab, kabilah-kabilah ini memang pada dasarnya condong kepada kaum Quraisy dan selama berabad-abad telah bekerjasama dengan mereka. Di antara mereka terdapat pakta yang disebut oleh al-Quran dengan istilah ilâf.[2] Melalui pakta tersebut, kaum Quraisy memperoleh jaminan keamanan atas jalur perniagaannya dengan kawasan Syam dan Yaman.
(3)  Memunculkan kekuatan Negara Islam yang baru tumbuh di Madinah.

Aktivitas yang mencerminkan upaya untuk meraih tiga target di atas telah dilakukan Rasulullah saw. sendiri (yang disebut dengan ghazwah=peperangan yang diikuti oleh Nabi saw), seperti: Perang Wadan, Perang Buwath, Perang al-‘Usyairah, dan Perang Safwan. Selain itu, dalam periode ini juga dikirimkan beberapa ekspedisi militer yang tidak disertai oleh Nabi saw. (sariyah), seperti: sariyah Hamzah bin Abdul Muthalib, sariyah Ubaid bin Harits, sariyah Sa’ad bin Abi Waqash, sariyah Abdullah bin Jahsy, dan sariyah Zaid bin Haritsah ke Qardhah.
Menurut Ibnu Hisyam, ekspedisi militer yang tidak diikuti Rasulullah saw. (sariyah) dan yang pertama kali dilakukan kaum Muslim adalah sariyah Ubaidah bin al-Harits.1 Dalam peristiwa ini rayah (panji-panji/bendera) perang yang pertama diserahkan Nabi saw. kepada komandan pasukan kaum Muslim.
Dikirimkannya pasukan yang dipimpin Ubaidah bin al-Harits terjadi pada bulan Syawal, kurang lebih tujuh bulan setelah Rasulullah saw. memasuki Madinah dalam perjalanan hijrahnya. Beliau masuk kota Madinah pada bulan Rabiul Awal.2
Sedangkan ghazwah yang dijalani oleh Rasulullah saw. yang pertama adalah Perang Wadan.[3] Beliau keluar kota Madinah bersama beberapa orang prajurit dari kalangan sahabatnya pada bulan Shafar tahun kedua setelah Hijrah. Rasulullah saw. keluar dari Madinah hingga tiba di Wadan, kampung yang terletak di antara kota Makkah dan Madinah. Dari Wadan ke Abwa berjarak sekitar enam mil. Perang Wadan dinamakan juga dengan Perang al-Abwa.
Rasulullah saw. berniat menyerang orang-orang Quraisy dari Bani Dhamrah bin Bakr bin Abdul Manaf bin Kinanah. Namun, beliau berdamai dengan Bani Dhamrah di al-Abwa. Dalam perjanjian tersebut Bani Dhamrah diwakili oleh salah seorang dari mereka, yaitu Makhsyi bin Amr adh-Dhamri. Ia pemimpin Bani Dhamrah saat itu.
Setelah itu, Rasulullah saw. pulang ke Madinah dan tidak memperoleh perlawanan. Rasulullah saw. menetap di Madinah hingga akhir bulan Shafar dan awal bulan Rabiul Awal.
Langkah Rasulullah saw. dengan mengikat perjanjian bersama Bani Dhamrah mencerminkan visi politik dan militer yang sangat hebat. Langkah-langkah semacam ini di kemudian hari selalu Rasulullah saw. lakukan dengan kabilah-kabilah Arab lainnya. Hal itu untuk memperkuat aliansi Negara Islam Madinah dalam menghadapi koalisi kafir Quraisy Makkah.
Sampai saat itu, kaum Muslim dan Rasulullah saw. belum berperang secara terbuka dan besar-besaran. Kedua belah pihak masih saling mengukur dan mengintai kekuatan masing-masing. Keduanya juga masih memainkan instrumen politik luar negeri dengan memanfaatkan posisi dan kekuatannya masing-masing. Perang besar yang pertama antara kaum Muslim dan kaum kafir Quraisy terjadi pada perang Badar al-Kubra.
Fragmen-fragmen di atas mencerminkan kecerdasan Rasulullah saw. dan kepiawaiannya mengelola politik luar negeri dan aspek militer Negara Islam Madinah. Jika Rasulullah saw. tidak memiliki kepiawaian tersebut, tentu saja Negara Islam Madinah sudah hancur pada saat beliau tiba di


[1]     Sîrah al-Halabiyyah, II/18-19.
[2]     QS Quraisy: 1-4.
1     Ibnu Hisyam, Sirah Nabi, vol. II/224.
2     Dr. Muhammad Rawwas Qal’aji, Qirâ‘ah Siyâsiyah li as-Siîah an-Nabawiyah, p.123.
[3]     Ibnu Hisyam, Sirah Nabi, vol. II/223.

Senin, 18 November 2013

Distribusi Harta Shadaqah di Masa Khalifah Umar




            Di dalam kitabnya, ath-Thabaqât, Ibn Sa’ad menceritakan penggalan riwayat dari Abu Hurairah, yang bertutur demikian:

Pada suatu kali, aku pernah datang dari Abu Musa al-Asy’ari sambil membawa harta shadaqah (zakat) sebesar 800.000 dirham (1 dirham = 2,975 gram perak). ‘Umar (yang menerimanya) berkata, “Apa gerangan yang engkau bawa?”
Aku menjawab, “Aku membawa 800.000 dirham dari Abu Musa al-Asy’ari’.
‘Umar balik bertanya, “Apakah engkau gembira?”
Aku menjawab lagi, “Tentu, aku amat gembira.”
Setelah diserahkan kepada ‘Umar, ‘Umar tidak dapat tidur semalaman.  Lalu istrinya bertanya, “Mengapa engkau tidak bisa tidur semalaman?” ‘
‘Umar menjawab, “Bagaimana aku bisa tidur, sementara telah datang kepadaku harta zakat sebanyak itu? Sungguh, aku tidak dapat tidur sampai aku bagikan harta itu kepada kaum Muslim.”
Usai salat subuh, ‘Umar berkata kepada para sahabat, “Semalam telah datang kepadaku harta shadaqah yang jumlahnya belum pernah didapatkan umat Islam sebanyak itu.  Karena itu, berikanlah pendapat kalian, bagaimana seharusnya aku membagikan harta itu?”
Kemudian banyak para sahabat yang menyampaikan pendapatnya masing-masing hingga akhirnya ‘Umar berkata, “Jika demikian, aku akan membagikan harta ini pertama kalinya kepada keluarga Rasulullah saw.”
Setelah itu, ‘Umar mencatat satu persatu nama-nama keluarga Rasulullah saw.; mulai dari Bani Hasyim, Bani Abdul Muthalib, lalu Bani Abdu Syamsi, dan Bani Naufal ibn Abi Manaf.  (Ibn Sa’ad, ath-Thabaqât, jld III/216).
           
Ath-Thabari melengkapi riwayat tersebut berdasarkan versi Ibn Huwairits. Disebutkan bahwa ‘Umar ibn al-Khaththab pernah meminta pendapat kepada kaum Muslim tentang daftar nama-nama orang yang yang akan memperoleh santunan. ‘Ali ibn Abi Thalib berkata, “Sebaiknya engkau membagikan kepada mereka setiap tahun apabila engkau memperoleh harta shadaqah (zakat).”
‘Utsman berkata, “Menurutku, sebaiknya harta yang banyak itu dibagikan kepada setiap orang secukupnya, sebab hal itu akan mencukupi semua orang meskipun mereka tidak dihitung.”
Walid ibn Hisyam ibn Mughirah berkata, “Amirul Mukminin, sesungguhnya aku pernah mengunjungi negeri Syam, dan aku menyaksikan para pembesarnya mencatat nama-nama pasukannya satu-persatu dan mencatat nama-nama para pegawainya.”
‘Umar lalu memerintahkan ‘Aqil ibn Abi Thalib, Makhramah ibn Naufal, dan Jubair ibn Muth’im (ketiganya dikenal sebagai ahli nasab suku Quraisy), “Catatlah nama setiap orang menurut kedudukannya masing-masing.”
Lalu ketiga orang itu mengawali catatannya dengan nama-nama dari keluarga Bani Hasyim, kemudian keluarga Abubakar dan kaumnya, setelah itu nama keluarga ‘Umar beserta kaumnya.  Melihat catatan tersebut ‘Umar berkata, “Sebaiknya awalilah catatan itu dari keluarga Rasulullah saw., kemudian keluarga-keluarga yang paling dekat, selanjutnya (yang terakhir) hingga pada keluargaku. (ath-Thabari, Târikh al-Umâm wa al-Mulûk, jld. V/22).
            Riwayat tersebut menunjukkan bahwa pemerintahan Negara Khilafah Islamiyah (14 abad lampau) telah memiliki manajemen distribusi harta shadaqah (zakat) yang amat rapi, terkontrol, dan transparan. 
Adakah para penguasa Muslim saat ini yang—katanya memiliki negara lebih modern—mempunyai catatan yang rapi, terkontrol, dan transparan?  Adakah mereka tidak dapat tidur nyenyak hingga harta milik kaum Muslim dibagi-bagikan? []


Minggu, 17 November 2013

Delapan Dirham




Rasulullah pagi itu sibuk memperhatikan bajunya dengan cermat. baju satu-satunya dan itupun ternyata sudah usang. baju yang setia menutup aurat beliau. meringankan tubuh beliau dari terik matahari dan dinginnya udara. Baju yang tidak pernah beristirahat.
Tetapi beliau tak mempunyai uang sepeser pun. Dengan apa beliau harus membeli baju? Padahal baju yang ada sudah waktunya diganti. Rasulullah sebenarnya dapat saja menjadi kaya mendadak, bahkan terkaya di dunia ini. Tapi sayang, beliau tak mau mempergunakan kemudahan itu. Jika beliau mau, Allah dalam sekejap bisa mengubah gunung dan pasir menjadi butir-butir emas yang berharga. Beliau tak sudi berbuat demikian karena kasihnya kepada para fakir yang papa. siapakah yang akan menjadi teladan jika bukan beliau..?
Contoh untuk menahan derita, menahan lapar dan dahaga, menahan segala coba dan uji Allah dengan kesabaran. Selalu mensyukuri nikmat Allah berapa pun besarnya. Siapa lagi kalau bukan beliau yang menyertai umatnya dalam menjalani iradat yang telah ditentukan Allah. Yaitu kehidupan dalam jurang kedukaan dan kemiskinan. Siapa pula yang harus menghibur mereka agar selalu bersabar dan rela dengan yang ada selain beliau? Juga siapa pula yang harus menanamkan keyakinan akan pahala Allah kelak di akhirat jika bukan beliau?
Yah,...hanya beliaulah yang mampu menjalankan berbagai hal diatas. benar,...baliaulah satu-satunya manusia yang mendapatkan amanat dari Allah untuk semua umat manusia. Tugas yang lebih murni dan mulia daripada intan berlian serta butiran emas yang lain. Lebih halus dari sutera serta lebih indah dari segala keindahan yang dikenal manusia di dunia ini. lebih megah dari segala kedudukan dan derajad kehidupan manusia yang katanya sudah megah. Semua itu hanyalah merupakan kesenangan dunia sedang di sisi Allah yang paling baik dan sebaik-baik tempat kembali
Perjuangan itu tidak mudah. bahkan sangat berat bagi beliau. Menegakkan yang hak hanya dapat dicapai dengan penuh keimanan dan kekuatan. sabar dalam menghadapi setiap malapetaka yang menimpa, bersyukur yang dilakukan dengan hati bersih. dalam keadaan bagaimanapun, baik dalam duka maupun suka, bersyukur dan keimanan harus selalu menyertai. Itulah pokok risalah yang dibawa Rasulullah saw.
Allah Maha Bijaksana, tidak akan membiarkan hamba-Nya terkasih kebingungan. Rasulullah diberinya rezeki sebanyak delapan dirham. Bergegas beliau melangkah ke pasar. Tentunya kita maklum. uang sekian itu dapat dibelikan apa. Apakah cukup untuk membeli makan, minum, serta pakaian penutup badan? Oleh sebab itu, bergembiralah hai para fakir dan miskin! Nabi kita, Muhammad saw telah memberikan contoh begitu jelas.
Nabi yang kita cintai, hamba kesayangan Allah pergi ke pasar dengan uang sedikit seperti yang kita miliki. Tetapi nabi kita ini, hamba Allah yang di bumi bernama Ahmad, sedang dari langit bernama Muhammad dengan ridha pergi ke pasar berbekal uang delapan dirham untuk berbelanja. Manusia penuh nur dan inayah Allah yang dilahirkan di makkah. meskipun beliau miskin, beliau senang sekali hidup. beliau belum ingin mati meski kemiskinan menjerat setiap hari.
Di tengah perjalanan menuju pasar, beliau menemukan seorang wanita yang menangis. Ternyata wanita yang kehilangan uang. Segera beliau memberikan uangnya sebanyak dua dirham. Beliau berhenti sejenak untuk menenangkan wanita itu.
Rasulullah bergegas menuju ke pasar yang semakin ramai. Sepanjang lorong pasar banyak sekali masyarakat yang menegur beliau dengan hormat. Selalu menjawab dan memberikan salam yang mengingatkan akan kebesaran Allah semata. Beliau langsung menuju tempat di mana ada barang yang diperlukannya. Dibelinya sepasang baju dengan harga empat dirham. beliau segera pulang.
Di perjalanan beliau bertemu dengan seorang tua yang telanjang. Orang tersebut dengan iba memohon sepotong baju untuk dipakainya. Rasulullah yang memang pengasih itu tidak tahan melihat. Langsung diberikannya baju yang baru dibeli. Beliau kembali ke pasar utnuk membeli baju lagi seharga dua dirham. Tentu saja lebih kasar dan jelek kualitasnya daripada yang empat dirham. dengan gembira beliau pulang membawa bajunya.
Langkahnya dipercepat karena sengatan matahari yang semakin terik. Juga angin malam yang telah mulai berhembus pelan-pelan. Beliau tidak ingin kemalaman di jalan. Tak lama beliau melangkah ke luar pasar, ditemuinya lagi wanita yang menangis tadi. Wanita itu kelihatan bingung dan sangat gelisah. Rasulullah saw mendekat dan bertanya mengapa. Wanita itu ternyata ketakutan untuk pulang. Dia telah terlambat dari batas waktu, dan takut dimarahi majikannya jika pulang nanti. Rasulul ah saw langsung menyatakan akan mengantarkannya.
Wanita itu berjalan yang diikuti Rasulullah saw dari belakang. Hatinya tenang karena Rasulullah saw pasti akan melindungi dirinya. Dia yakin majikannya akan memaafkan, karena kepulangan yang diantarkan oleh manusia paling mulia di dunia ini. Bahkan mungkin akan berterima kasih karena pulang membawa kebaikan bersama dengan kedatangan nabi dan rasul mereka. Mereka terus berjalan hingga sampai ke perkampungan kaum Anshari. Kebetulan saat itu yang ada hanyalah para isteri mereka.
Assalamu'alaikum warahmatullah, sapa Rasulullah saw keras. Mereka semuanya diam tak menjawab. Padahal mereka mendengar. Hati mereka diliputi kebahagiaan karena kedatangan Nabi. Mereka menganggap salam Rasulullah saw sebagai berkah dan seperti lebaran saja. Mereka masih ingin mendengarnya lagi. Ketika tak terdengar jawaban, Rasulullah saw memberi salam lagi. Tetap tak terdengar jawaban. Rasulullah saw mengulang untuk yang ketiga kali dengan suara lantang, Assalamu'alaikum warahmatullah. Serentak mereka menjawab.
Rasulullah sangat heran dengan semua itu. Beliau menanyakan pada mereka apa sebabnya. Mereka mengatakan, Tidak ya Rasulullah. Kami sudah mendengar sejak tadi. Kami memang sengaja, kami ingin mendapatkan salam lebih banyak. Rasulullah melanjutkan, Pembantumu ini terlambat pulang dan tidak berani pulang sendirian. Sekiranya dia harus menerima hukuman, akulah yang akan menerimanya.
Ucapan ini sangat mengejutkan mereka. Kasih sayang Nabi begitu murni, budi pekerti yang utama, yang indah tampak dihadapan mereka. Beliau menempuh perjalanan begitu panjang dan jauh hanya untuk mengantarkan seorang budak yang takut dimarahi majikannya. Lagipula hanya karena terlambat pulang. Bahkan memohonkan maaf baginya pula. Sehingga karena harunya, mereka berkata, Kami memaafkan dan bahkan membebaskannya. Kedatangannya kemari bersama anda karena untuk mengharap ridha Allah semata. Budak itu tak terhingga rasa terima kasihnya. Bersyukur atas karunia Allah swt dan kebebasannya karena dari Rasulullah saw.
Rasulullah saw pulang dengan hati gembira. Telah bebas satu perbudakan dengan mengharap ridha Allah swt sepenuhnya. Beliau juga tak lupa mendoakan para wanita itu agar mendapatkan berkah dari Allah swt. Semoga semua harta dan turunan serta semoga selalu tetap dalam keadaan iman dan islam. Beliau sibuk memikirkan peristiwa sehari tadi. Hari yang penuh berkah dan karunia Allah swt semata. Akhirnya beliau berujar dengan, Belum pernah kutemui berkah angka delapan sebagaimana hari ini. Delapan dirham yang mampu mengamankan seseorang dari ketakutan, dua orang yang membutuhkan serta memerdekakan seorang budak. Bagi seseorang muslim yang memberikan pakaian pada saudara sesama muslim, Allah akan memelihara selama pakaian itu masih melekat.

Jumat, 15 November 2013

DAKWAH NABI MUHAMMAD SAW KEPADA RAJA NAJASYI




            Rasulullah saw. pernah mengirimkan surat kepada Raja Habsyah, yakni Najasyi yang beragama Nasrani, sebagai berikut:

Bismillâhirrahmânirrahîm.

Dari Muhammad Rasulullah kepada Najasy Raja Habsyah yang agung.
Keselamatan bagi orang yang mengikuti petunjuk.
Setelah itu, aku memuji Allah, yakni Tiada tuhan kecuali Dia, Raja Yang Suci, Yang Mahasejahtera, Yang mengaruniakan keamanan, dan Yang Maha Memelihara. Aku bersaksi bahwa Isa bin Maryam adalah ruh Allah, yang kalimat-Nya bertemu pada Maryam—yang perawan serta menjaga kebaikan dan kesucian. Ia lalu mengandung Isa yang (berasal) dari ruh-Nya yang ditiupkan, sebagaimana (Dia) menciptakan Adam dengan tangan (kekuasaan)-Nya.
Aku mengajak engkau (beriman) kepada Allah Yang Esa, Yang tiada berserikat sesuatu di dalamnya, dan setia menaati-Nya; agar engkau mengikuti dan mematuhi apa yang datang kepadaku. Aku adalah Rasul (utusan) Allah. Aku mengajakmu dan bala tentara (pendukung)-mu kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Aku telah menyampaikan dan telah aku nasihatkan. Jadi, terimalah nasihatku ini.
Keselamatan bagi orang yang mengikuti petunjuk. (M. Hamidullah, Majmû‘ah al-Watsâ’iq as-Siyâsiyah li ‘Ahdi an-Nabawi wa al-Khilâfah ar-Rasyîdah, hlm. 101-103)
           
Tidak lama kemudian, datang surat balasan Najasyi kepada Rasulullah saw. sebagai berikut:

Bismillâhirrahmânirrahîm.

Kepada Muhammad Rasulullah dari Najasy al-Asham bin Abjar.
Keselamatan bagimu, wahai Nabiyallah, rahmat Allah, dan berkat-Nya. Dari Allahlah, Yang tiada tuhan kecuali Dia, Yang telah menunjuki aku pada Islam.
Setelah itu, telah sampai suratmu, wahai Rasulullah, kepadaku dan apa yang engkau singgung tentang perkara Isa. Demi Tuhan langit dan bumi, Isa tidak lebih dari apa yang telah engkau sebutkan dan katakan. Aku mengetahui apa yang engkau utus kepada kami. Kami telah membacanya (melalui) anak pamanmu dan sahabat-sahabatmu. Karena itu, aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah yang benar dan dibenarkan. Aku telah berbaiat kepadamu, anak pamanmu, dan sahabat-sahabatmu. Aku telah memeluk Islam dengan (pertolongan) Allah Tuhan semesta alam.
Aku mengutus kepadamu anakku, Arha bin Asham bin Abjar. Aku tidak memiliki sesuatu kecuali diriku sendiri. Karena itu, jika engkau menghendaki aku datang kepadamu, aku pasti melakukannya, wahai Rasulullah. Aku bersaksi bahwa apa yang engkau katakan itu benar.
Keselamatan atasmu, wahai Rasulullah. (Ibidem, hlm. 104-105).

            Apakah sikap kaum Muslim serta para ulama dan penguasa mereka, ketika berinteraksi dengan orang-orang kafir, bersikap seperti Rasulullah saw.—yaitu mengajak memeluk Islam—ataukah sebaliknya, yakni mempropagandakan toleransi yang ditujukan kepada kaum Muslim demi menyenangkan hati orang-orang kafir? [AF]