Selasa, 05 November 2013

ALTRUISME



llah Swt. berfirman (yang artinya): Mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) atas diri mereka sendiri walaupun mereka dalam kesusahan. (QS al-Hasyr [59]: 9).
Ayat ini berkaitan dengan sebuah riwayat yang dituturkan oleh Abu Hurairah ra. Disebutkan bahwa pernah ada seorang Muhajirin menemui Rasulullah saw. Ia lalu berkata, "Ya Rasulullah, sungguh, saya sangat lapar sekali!"
Mendengar itu Rasul segera membawa orang itu kepada salah seorang istri beliau agar ia memberinya makan. Namun, istri beliau itu berkata, "Demi Zat Yang mengutusmu dengan haq. Aku tidak memiliki apapun, kecuali air."
Nabi yang mulia lalu membawa orang itu kepada istri beliau yang lain. Istri beliau itu pun menjawab dengan jawaban yang sama. Beliau kemudian membawa orang itu kepada istri-istri beliau yang lainnya lagi. Namun, jawaban mereka juga sama saja; mereka tidak memiliki apapun, kecuali air. Akhirnya, beliau bersabda kepada para Sahabat, "Siapa saja yang sanggup menjamu tamu ini pada malam ini, Allah pasti merahmatinya."
Seseorang dari kalangan Anshar lalu berdiri seraya berkata, "Saya, ya Rasulullah."
Orang Anshar itu pun membawa tamunya ke rumahnya. Ia lalu berkata kepada istrinya, "Kita kedatangan tamu malam ini. Apakah engkau punya makanan?"
Istrinya menjawab, "Tidak, kita tidak punya makanan, kecuali sedikit, untuk anak-anak kita."
Lelaki Anshar itu berkata kepada istrinya, "Kalau begitu, tidurkanlah mereka. Hidangkan makanan itu untuk tamu kita. Jika ia sudah masuk rumah, matikan lampu, sementara aku akan berpura-pura sedang makan."
Dalam kegelapan, tamu itu pun masuk dan dipersilakan untuk memakan hidangan yang tidak seberapa bersama tuan rumah, padahal tuan rumah hanya berpura-pura makan.
Keesokan harinya, Nabi saw. bersabda kepada suami-istri itu, "Sungguh, Allah sangat mengagumi kalian berdua karena perilaku kalian tadi malam dalam menjamu tamu kalian." (Al-Qurthubi, XVIII/24).
Kisah di atas sangatlah populer dan sudahn sering kita dengar. Begitu seringnya diperdengarkan, bagi sebagian orang kisah itu mungkin sudah tidak menarik lagi; tidak lagi mengharukan, menyentuh kalbu, apalagi mempertajam empatinya kepada orang lain yang berada dalam kesulitan.
Padahal kisah di atas setidaknya memberikan dua pelajaran (ibrah) yang senantiasa relevan untuk diingat oleh setiap Muslim dimana pun dan kapan pun. Pertama: Betapa Rasulullah saw. dan keluarganya tidak bisa dikatakan sebagai keluarga yang berada. Dalam banyak riwayat, Rasul bahkan sering 'terpaksa' shaum karena seringnya beliau tidak menemukan sesuatu untuk dimakan. Namun, yang menakjubkan, di tengah kebersahajaannya, Rasul yang mulia tetap memperhatikan kebutuhan orang lain. Kehidupan Rasul kekasih Allah seperti ini sejatinya menjadi cermin bagi kita yang selama ini mungkin merasa kekurangan atau miskin, bahwa kekurangan dan kemiskinan bukanlah alasan untuk berkeluh-kesah, berputus-asa, atau tidak mempedulikan orang lain. Apalagi jika kekurangan dan kemiskinan itu sampai mengakibatkan kita 'futur' di jalan dakwah. Bukankah Rasulullah saw. tidak pernah berhenti berdakwah hanya karena sering hidup dalam kekurangan?
Kedua: Betapa dalam kekurangan dan kemiskinan, Sahabat Anshar yang dikisahkan dalam riwayat di atas memiliki kesanggupan untuk mengutamakan orang lain (altruisme) ketimbang dirinya dan keluarganya. Ia sanggup mengenyangkan tamunya yang lapar meskipun ia sendiri dan keluarganya juga kelaparan. Gambaran Sahabat Anshar yang satu ini selayaknya juga menjadi cermin bagi kita, betapa kekurangan dan kemiskinan tidak boleh menghalangi niat untuk mengutamakan orang lain yang lebih membutuhkan.
Sekarang, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri, sejauh mana rasa simpati, empati, dan altruisme kita kepada saudara kita, bahkan yang sama-sama aktif dalam barisan dakwah, yang kehidupannya ekonominya jauh lebih buruk daripada kita. Pernahkah kita tahu, atau mencari tahu, bahwa di samping kita mungkin ada aktivis dakwah yang sering menahan rasa lapar (berpuasa) karena tidak ada uang untuk membeli makan? Padahal mungkin saat itu di rumah kita kelebihan makanan.
Pernahkah kita berpikir, ada aktivis dakwah di sebuah kota besar, mungkin tetangga kita, yang setiap menghadiri halaqah dan beraktivitas dakwah harus menempuh perjalanan 5-10 km karena setiap hari hanya ada 5.000 rupiah di sakunya untuk biaya hidup anak dan istrinya? Pernahkah kita sadar, bahwa ada  aktivis dakwah yang hanya mampu ngontrak di 'gubuk' sederhana dan sempit, yang ia tinggali bersama istri dan anak-anaknya, yang lantainya suka becek dan atapnya sering bocor saat hujan; itu pun setiap bulannya ia harus selalu dipusingkan oleh uang kontrakannya yang 'tidak seberapa'? Padahal mungkin saat itu saudaranya sesama pengemban dakwah sedang berencana memperluas dan mempercantik rumahnya, atau mungkin berencana membeli rumah baru untuk investasi masa depannya, atau mungkin sedang berencana membeli mobil atau motor baru, di samping yang sudah ia miliki.
Yang 'menakjubkan', ada seorang Muslim di negeri ini yang mampu menunaikan ibadah haji sampai 9 kali atas biaya sendiri, di tengah-tengah tetangganya yang bisa satu kali makan sehari saja, baginya sudah beruntung. Masya Allah! 
Memang, ada orang yang biasa berpikir, punya rumah bagus, mobil mewah, motor lebih dari 3, atau berhaji berkali-kali adalah hal yang mubah; halal; tidak berdosa (tentu selama diperoleh dari jalan yang halal). Namun, pernahkah dia juga berpikir bahwa menjadikan kelebihan hartanya itu bisa bermanfaat bagi orang lain lebih dari sekadar halal, malah  mendapatkan pahala? Pernahkah pula dia merenungkan, bahwa dengan kecukupan hartanya 
Sumber : Arief B. Iskandar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar