Sayyidina
Ali bin Abi Thalib memiliki kepribadian yang penuh inspirasi Uluhiyah atau
Ketuhanan. Ali tidak memerlukan proses pengalaman atau tabrakan atau
penimbangan dengan dan atas apa pun benda dan peristiwa dalam hidupnya
sebagaimana seniornya; Abu Bakar, Umar, dan Usman. Ia tidak perlu menggali ilmu
tentang daun dan hujan untuk menemukan kebesaran Allah. Begitu ia memandang
daun, yang dijumpainya adalah langsung Allah.
Rasulullah
memberikan metafor dengan sabdanya, ''Aku ibarat alun-alunnya ilmu, sedangkan
Ali bin Abi Thalib adalah pintunya (gerbang).''
Pernyataan
Rasulullah ini menimbulkan perasaan iri pada kaum Khawarij terhadap Ali. Mereka
kemudian mengadakan majelis musyawarah yang dihadiri 10 orang dari kalangan
para tokoh. Mereka sepakat menguji Ali: masing-masing akan mengajukan
pertanyaan yang sama, tapi harus dijawab oleh Ali dengan jawaban yang berbeda.
Lalu,
mereka menemui Ali bin Abi Thalib, masing-masing mengajukan pertanyaan, ''Ya
Ali, istimewa manakah antara ilmu dan harta?''
Ali bin
Abi Thalib dengan tangkas menjawab pertanyaan mereka satu per satu, yang
masing-masing jawaban disertai argumentasi yang berbeda. Jawaban yang
disampaikan Ali, yakni: pertama, ilmu lebih istimewa daripada harta. Sebab,
ilmu adalah warisan para Nabi, sedangkan harta adalah warisan Qarun, Haman, dan
Fir'aun.
Kedua,
ilmu lebih istimewa daripada harta. Sebab, ilmu selalu menjagamu, sedangkan
engkau harus menjaga harta milikmu.
Ketiga,
ilmu lebih istimewa daripada harta. Sebab, orang berilmu banyak kawan,
sedangkan orang kaya banyak musuhnya.
Keempat,
ilmu lebih istimewa daripada harta. Sebab, ilmu bila diinfakkan (diajarkan)
semakin bertambah, sedangkan harta bila diinfakkan semakin berkurang.
Kelima,
ilmu lebih istimewa daripada harta. Sebab, orang berilmu dipanggil dengan
sebutan mulia, sedangkan orang berharta dipanggil dengan sebutan hina.
Keenam,
ilmu lebih istimewa daripada harta. Sebab, ilmu tidak perlu dijaga, sedangkan
harta minta dijaga.
Ketujuh,
ilmu lebih istimewa daripada harta. Sebab, orang berilmu di hari kiamat dapat
memberi syafaat, sedangkan orang berharta di hari kiamat dihisab dengan berat.
Kedelapan,
ilmu lebih istimewa daripada harta. Sebab, ilmu dibiarkan saja tidak akan
pernah rusak, sedangkan harta dibiarkan pasti berkurang (bahkan habis dimakan).
Kesembilan,
ilmu lebih istimewa daripada harta. Sebab, ilmu memberikan penerang di dalam
hati, sedangkan harta dapat membuat kerusakan di dalam hati (seperti
menimbulkan sifat takabur, pamer, dan ingkar).
Kesepuluh,
ilmu lebih istimewa daripada harta. Sebab, orang berilmu bersikap lemah lembut
dan selalu berbakti kepada Allah, sedangkan orang berharta seringkali memiliki
sifat takabur dan ingkar kepada Allah.
Sepuluh
orang tokoh Khawarij yang mengajukan pertanyaan kemudian ditantang oleh Ali bin
Abi Thalib: ''Seandainya seluruh kaum Khawarij satu per satu mengajukan
pertanyaan 'istimewa mana antara ilmu dan harta' tentu aku akan memberikan
argumentasi yang berbeda selagi hayat masih di kandung badan.'' Akhirnya kaum
Khawarij mengakui kealiman Ali dan mengakui pula kebenaran sabda Rasulullah.
Mereka pun tunduk patuh kepada Ali.
Demikianlah
kehebatan Ali, kemenakan dan kader gemblengan Rasulullah. Abu Bakar, Umar, dan
Usman, serta kita semua berupaya mencapai ''kota'' itu, memasuki lewat
''pintunya'' dengan cara kita masing-masing untuk memperoleh kemungkinan
mendapatkan kemuliaan liqa-u Rabb; untuk
mengalami pertemuan agung dengan Allah. Kita melewati ''pintu'', sedangkan Ali
adalah ''pintu'' itu sendiri.
Sebagian
kita ditakdirkan Allah sejak dinihari kehidupan memperoleh jalan lempang
memasuki ''kota
ilmu'' Tuhan. Bahkan, ada yang memperoleh rahmat dengan sudah berada di
dalamnya tanpa susah payah. Tapi, tak sedikit juga di antara kita yang malah
sibuk mencari jalan keluar dari ''kota
Tuhan''.
Sumber : Wawan Susetyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar