Hijrahnya Rasulullah saw. bersama-sama para
sahabat dari kalangan Muhajirin ke kota Madinah sangat mempengaruhi konstelasi
politik di dalam kota Madinah. ‘Abdullah
bin Ubay, tokoh munafik yang telah lama dijagokan oleh kabilah-kabilah Yahudi
sebagai pemimpin masa depan kota Madinah, merasa tersingkir, dan harapannya
untuk memperoleh tampuk kepemimpinan di Madinah mulai terkikis. Oleh karena itu,
ketidaksukaannya terhadap Nabi saw. amat besar. Hanya saja, status sosialnya
yang tinggi mencegahnya untuk bersikap frontal. Jadilah ia pelopor bagi kaum munafik. Di depan Rasulullah saw. dia berpura-pura
Islam, tetapi di belakangnya dia sangat membenci beliau. ‘Abdullah bin Ubay bahkan sampai pernah
bersumpah, “Demi Allah, apabila aku kembali ke Madinah, tentu orang yang paling
mulia (yakni dia sendiri-pen.) akan segera mengusir orang yang paling
hina (yakni Muhammad saw.-pen.).” (Tafsir Ibn Katsir, jld. IV, hlm. 444).
Ucapan tersebut, yang nyata-nyata menghina Nabi saw., kemudian
tersebar dan didengar oleh para sahabat, hingga ‘Umar bin al-Khaththab dan
Usaid bin Hudhair meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk membunuh ‘Abdullah
bin Ubay. Beliau menenangkan sahabatnya itu seraya berkata, “Apa nanti kata
orang-orang bila aku mengizinkan kalian untuk membunuhnya. Mereka tentu akan
berkata, ‘Muhammad telah membunuh sahabat-sahabatnya.’”
Ucapan ‘Abdullah bin Ubay serta reaksi para sahabat
juga didengar oleh anaknya, ‘Abdullah bin ‘Abdullah bin Ubay. Lalu, ia
mendatangi Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, telah sampai
kepadaku (berita) bahwa engkau hendak membunuh ‘Abdullah bin Ubay karena
pernyataannya (yang menghinamu). Jika engkau telah memutuskan untuk
melakukannya, lebih baik perintahkanlah aku untuk membawa kepalanya kepadamu.
Demi Allah, orang-orang Khazraj mengetahui bahwa tidak ada seorang anak yang
jauh lebih berbakti kepada ayahnya selain diriku. Aku khawatir, engkau malah
menyuruh orang lain untuk membunuhnya, lalu aku tidak bisa menahan diri melihat
orang tersebut (bebas) berkeliaran hingga aku membunuhnya pula. Sebab, jika
begitu, berarti aku akan membunuh seorang Muslim hanya untuk membalas dendan
atas kematian seorang kafir. Dengan tindakan tersebut aku pasti masuk
neraka. (Ibidem, hlm. 447).
Rasul
menjawab, “Aku tidak akan membunuhnya sekarang. Aku hanya berusaha berbuat baik
terhadap dirinya dan bersikap bijaksana selama ia masih berada di tengah-tengah
kita.”
Adakah
pemuda Muslim saat ini yang kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya jauh
melebihi kecintaannya terhadap kesenangan dunia dan pembelaannya terhadap Allah
dan Rasul-Nya melebihi pembelaannya terhadap keluarganya—sebagaimana ‘Abdullah
putra dari gembong munafik? [AF]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar