Rabu, 29 Januari 2014

Ketegasan dan Kelembutan sang Khalifah




            Seorang pemimpin, apalagi seorang khalifah (kepala negara kaum Muslim), dituntut memiliki sifat-sifat tertentu yang kadang-kadang satu dengan lainnya seakan-akan berlawanan; tidak terkecuali dalam diri Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab r.a.  Beliau dikenal berpembawaan tegas dan keras.  Namun demikian,  kelembutannya juga sangat menonjol, terutama pada saat beliau menjadi khalifah.  Berkaitan dengan ketegasan dan kelembutan ‘Umar ini, Sa’id ibn Musayyab bertutur demikian:

Tatkala ‘Umar ibn Khaththab dibaiat sebagai khalifah, beliau berpidato di atas mimbar Rasulullah.  Setelah menyampaikan pujian kepada Allah, beliau berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya aku mengetahui bahwa kalian telah mengenaliku sebagai seseorang yang berpembawaan keras dan kasar.  Sesungguhnya hal itu tampak tatkala aku masih bersama-sama dengan Rasulullah saw.  Aku membantu beliau, sedangkan beliau adalah orang yang lemah lembut.  Saat itu, aku sengaja berlaku tegas/keras seolah-olah aku adalah pedang yang terhunus, yang siap untuk digunakan.  Ini disebabkan sikap lemah lembutnya Rasulullah saw.  Demikianlah keadaanku di masa beliau hingga wafatnya, sementara beliau rela—dengan sikapku itu—terhadapku.  Oleh karena itu, aku bersyukur kepada Allah dan amat bergembira.  Aku pun bersikap sama tatkala Abubakar diangkat sebagai khalifah (pengganti) Rasulullah.  Itu disebabkan karena Abu Bakar adalah orang yang lemah lembut,  murah tangan, dan berbudi pekerti halus.  Aku sengaja bersikap tegas di sisinya, karena sifat beliau yang lemah lembut itu. Keadaan ini berlangsung hingga beliau wafat.  Begitulah keadaanku sampai beliau wafat, sementara beliau rela terhadapku dan aku pun senang terhadapnya.  Setelah itu, aku dibaiat menjadi khalifah pada hari ini.  Aku tahu, ada seseorang yang berkata, ‘Apabila ia (‘Umar) selalu bersikap keras kepada kita (selama ini, peny.), lalu bagaimana jika hari ini ia mengejar kekuasaan?’   Ketahuilah bahwa kekerasanku yang kalian ketahui semasa aku masih bersama dengan Rasulullah adalah perkara yang wajar bagiku.  Kini, kekerasanku pun akan bertambah terhadap orang yang berlaku aniaya dan yang memperkosa hak-hak kaum yang lemah.  Ketahuilah bahwa di samping kekerasanku itu, aku akan berlemah lembut terhadap orang-orang yang baik dan benar.  Aku tidak akan menyimpang sedikit pun dari hukum yang ada. Karena itu, bertakwalah kalian kepada Allah, bantulah aku untuk menegakkan yang benar (makruf) dan mencegah yang salah (mungkar), dan perbanyaklah nasihat yang baik kepadaku dalam menjalankan urusan kekhalifahan ini.”
Setelah itu, ‘Umar kemudian turun (dari mimbar).  (Kanz al-‘ Ummâl, jilid III/147)

            Lalu, adakah saat ini para pemimpin Muslim yang bersikap tegas dan keras terhadap orang-orang dan negara-negara kafir yang merongrong dan menduduki negeri-negeri kaum Muslim serta mengusir dan membantai kaum Muslim, sementara pada saat yang sama, ia bersikap lemah lembut serta bijaksana terhadap rakyatnya sendiri, sebagaimana sikap Khalifah ‘Umar ibn Khaththab r.a.?!

Selasa, 28 Januari 2014

Babad Alas Wonomarto ( Asal Usul Negeri Amarta)

Dalam kisah pewayangan Jawa, negara Amartha merupakan negara yang dikenal sebagai tanah para Pandawa lima. Pada awalnya, negara ini merupakan Hutan Mertani yakni sebuah hutan belantara yang dikenal angker dan menjadi lokasi para jin berkumpul. Hutan ini juga disebut dengan hutan siluman karena seringkali menjadi lokasi para makhluk halus berkumpul.
Alkisah, sekembalinya Pandawa ke Astina setelah lolos dari peristiwa Bale Sigala-gala, Destarata, atas saran Patih Sengkuni memberi bagian wilayah pada Pandawa berupa Hutan Mertani atau Wanamarta. Yang sebenarnya ini hanyalah akal-akalan licik Sengkuni dalam usaha menyingkirkan Pandawa. Hutan mertani merupakan hutan yang sangat angker dan terdapat kerjaan jin, dengan harapan Pandawa akan mati saat babad alas ini.

Dalam perjalanan ke hutan Alas Wanamarta, Arjuna dihadang resi Wilawuk, yaitu jin raksasa, Mengenai resi Wilawuk atau resi Wilwuk ada yang menceritakan bahwa Resi Wilawuk berwadag seekor naga besar,  naga yang mmpubyai sepasang sayap yang panjang dan kuat. Baiknya kita tanggapi kedua versi itu, dan kita simpulkan, Resi Wilawuk adalah seorang jin raksasa, yang dapat berubah menjadi seekor naga.. Resi Wiawuk meminta Arjuna mengikuti resi Wilawuk kepertapaannya, yaitu pertapaan Pringcendani. Arjuna naik kebadan naga, dan naga Wilawuk pun terbang menuju ke pertapaan Pringcendani. Setiba di Pertapan Pringcendani diperkenalkan dengan puteinya,yang cantik dan elok, ia bernama Dewi Jimambang.. Ia cantik bagaikabn bidadari kahyangan.Resi Wilawuk melihat kedua insan saling jatuh cinta, sang resipun menikahkan. Selsai pernikahan, resi Wilawuk memberi sebuah cupu berisi lenga (minyak) Jayengkaton Khasiatnya, barangsiapa memoleskan minyak Jayengkatonp ada kedua maatanya, maka akan melihat alam halus, dimana akan melihat segala jin dan kerajaannya. Resi juga menghadiahi pusaka Jalasutera kencana setelah semua keperluannya selesai, Arjuna pun berpamitan untuk pergi ke hutan Wanamarta. Untuk mempercepat perjalanan ke Wanamarta, Resi Wilawuk juga memberikan Kuda Ciptawilaha dan cambuk Kyai Pamuk. Singkat cerita Arajunapun sudah berangkat ke Wanamarta.
Sumber: Kumpulan cerita wayang
 

Keberanian Sa'ad bin Mu'adz




            Setelah Usaid berhadapan dengan Sa‘ad, Sa‘ad bertanya, “Apa yang engkau lakukan?”
Usaid menjawab, “Aku telah menegur kedua orang itu, tetapi keduanya tidak membahayakan.”
Mendengar hal itu, Sa‘ad marah, dan bersama-sama mendatangi tempat Mush‘ab dan  As’ad berada sambil membawa tombak. Sesampainya di tempat itu Sa‘ad, menegur mereka dengan keras, namun Mush‘ab menjawabnya dengan tenang, “Apabila engkau mau mendengarkan maka kami akan menjelaskan kepadamu ajaran Islam. Jika engkau anggap hal itu baik, silakan terima;  jika tidak baik, engkau boleh meninggalkannya.”
            Sa‘ad pun mengikuti permintaan Mush‘ab, kemudian duduk dan mendengarkan penjelasan Mush‘ab dengan penuh perhatian. Mush‘ab menjelaskan Islam dan membacakan ayat-ayat al-Quran. Sa‘ad mendengarkannya dengan penuh takjub. Setelah itu, Sa‘ad berkata, “Sungguh, amat bagus sekali yang engkau baca itu. Bagaimana caranya masuk Islam?”
Mush‘ab menjawab, “Engkau harus mandi lalu membersihkan pakaianmu, kemudian bersyahadat dan shalat.”
            Segera Sa‘ad menjalankannya. Kemudian ia pun kembali menjumpai kaumnya (yang tengah menunggu-nunggu kedatangannya). Tatkala ia kembali, kaumnya berujar, “Demi Allah, Sa‘ad datang dengan wajah yang berbeda dengan sebelumnya.”
            Sa‘ad kemudian berkata di tengah-tengah kaumnya, “Wahai Bani Asyhal, bagaimana kedudukanku di tengah-tengah kalian?”
Mereka menjawab, “Engkau adalah orang yang kami hormati.”
Sa‘ad kemudian berkata lagi, “Ketahuilah oleh kalian, mulai hari ini, aku tidak akan mau bercakap-cakap dengan kalian, baik lelaki maupun perempuan, sebelum kalian memeluk Islam seperti diriku.”
Mendengar ajakan sekaligus ancaman Sa‘ad, seluruh anggota Kabilah Asyhal pun memeluk Islam.
Sejak saat itu, Mush‘ab bin Umair memperoleh keberhasilan yang luar biasa dalam mendakwahkan Islam, dan memperoleh dukungan dari kabilah-kabilah yang ada di kota Yatsrib. (Lihat: Ibn Katsir, Bidâyah wa an-Nihâyah, jld. III/152).
Adakah para penguasa Muslim, tokoh-tokoh Muslim, dan orang-orang yang terhormat di masyarakat (dari kalangan Muslim) yang memiliki sikap terus-terang dalam menampakkan identitas keislamannya serta mendukung perjuangan Islam tanpa sembunyi-sembunyi dan rasa takut akan hilangnya posisi/jabatannya, sebagaimana yang dilakukan Sa‘ad bin Mu‘adz? [AF]

           

Jumat, 10 Januari 2014

Kecintaan Sahabat Kepada Rasulullah SAW




Hijrahnya Rasulullah saw. bersama-sama para sahabat dari kalangan Muhajirin ke kota Madinah sangat mempengaruhi konstelasi politik di dalam kota Madinah.  ‘Abdullah bin Ubay, tokoh munafik yang telah lama dijagokan oleh kabilah-kabilah Yahudi sebagai pemimpin masa depan kota Madinah, merasa tersingkir, dan harapannya untuk memperoleh tampuk kepemimpinan di Madinah mulai terkikis. Oleh karena itu, ketidaksukaannya terhadap Nabi saw. amat besar. Hanya saja, status sosialnya yang tinggi mencegahnya untuk bersikap frontal. Jadilah ia pelopor bagi kaum munafik.  Di depan Rasulullah saw. dia berpura-pura Islam, tetapi di belakangnya dia sangat membenci beliau.  ‘Abdullah bin Ubay bahkan sampai pernah bersumpah, “Demi Allah, apabila aku kembali ke Madinah, tentu orang yang paling mulia (yakni dia sendiri-pen.) akan segera mengusir orang yang paling hina (yakni Muhammad saw.-pen.).”  (Tafsir Ibn Katsir, jld. IV, hlm. 444).
            Ucapan tersebut, yang nyata-nyata menghina Nabi saw., kemudian tersebar dan didengar oleh para sahabat, hingga ‘Umar bin al-Khaththab dan Usaid bin Hudhair meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk membunuh ‘Abdullah bin Ubay. Beliau menenangkan sahabatnya itu seraya berkata, “Apa nanti kata orang-orang bila aku mengizinkan kalian untuk membunuhnya. Mereka tentu akan berkata, ‘Muhammad telah membunuh sahabat-sahabatnya.’”
Ucapan  ‘Abdullah bin Ubay serta reaksi para sahabat juga didengar oleh anaknya, ‘Abdullah bin ‘Abdullah bin Ubay. Lalu, ia mendatangi Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, telah sampai kepadaku (berita) bahwa engkau hendak membunuh ‘Abdullah bin Ubay karena pernyataannya (yang menghinamu). Jika engkau telah memutuskan untuk melakukannya, lebih baik perintahkanlah aku untuk membawa kepalanya kepadamu. Demi Allah, orang-orang Khazraj mengetahui bahwa tidak ada seorang anak yang jauh lebih berbakti kepada ayahnya selain diriku. Aku khawatir, engkau malah menyuruh orang lain untuk membunuhnya, lalu aku tidak bisa menahan diri melihat orang tersebut (bebas) berkeliaran hingga aku membunuhnya pula. Sebab, jika begitu, berarti aku akan membunuh seorang Muslim hanya untuk membalas dendan atas kematian seorang kafir. Dengan tindakan tersebut aku pasti masuk neraka.  (Ibidem, hlm. 447).
Rasul menjawab, “Aku tidak akan membunuhnya sekarang. Aku hanya berusaha berbuat baik terhadap dirinya dan bersikap bijaksana selama ia masih berada di tengah-tengah kita.”
            Adakah pemuda Muslim saat ini yang kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya jauh melebihi kecintaannya terhadap kesenangan dunia dan pembelaannya terhadap Allah dan Rasul-Nya melebihi pembelaannya terhadap keluarganya—sebagaimana ‘Abdullah putra dari gembong munafik? [AF]